BUSHIDO WAYS, jalan kesatria arti dari memegang katana

Jepang dilihat dari sejarahnya sejak abad ke-5 (era Asuka) telah diperkenalkan oleh sistem feodalisme yang sangat kuat. Hal ini ditandai oleh munculnya para tuan tanah (dainyo) yang menguasai tiap-tiap prefektur di saat Jepang kala itu belum dipersatukan.

Di era Sengoku (tahun 1600) terdapat 3 orang samuarai yang berusaha mengakhiri sistem feodalisme yang menderitakan rakyat ini. Mereka mencoba mempersatukan Jepang di bawah satu kekuasaan yang berdasarkan prinsip-prinsip luhur bushido.

Para samuarai itu adalah Hideyoshi Toyotomi dari klan Toyotomi-gumi, Nobunaga Oda dari klan Nobunaga dan Tokugawa Ieyasu dari klan Tokigawa . Pada era Sengoku itu Jepang sudah mengenal persenjataan api dari dunia Barat yang di bawa oleh Jerman dan Inggris. Nobunaga Oda adalah seorang pemimpin perang yang menggabungkan seni berpedang (battou jutsu) dengan teknologi modern hingga ia dianggap sebagai kesatria samurai yang tidak luhur oleh para musuhnya.

Peperangan pun dimenangkan oleh Tokugawa dan ialah yang memerintah Jepang di bawah sistem shogun. Pada tahun 1854 shogun Tokugawa ditumbangkan oleh suatu gerakan restorasi yang disebut sebagai restorasi Meiji. Era pertempuran ini dikenal sebagai era Bakumatsu yang pada saat itu banyak terjadi pembunuhan oleh pemerintah Meiji terhadap seluruh pemberontak, salah satunya yang terkenal ialah Shinsen-gumi yang dipimpin oleh seorang samurai setia Tokugawa bernama Hajime Saito.

Seperti yang pernah digambarkan dalam suatu film Hollywood berjudul The Last Samurai, bahwa pemerintahan kekaiasaran Meiji adalah pemerintahan yang lebih terbuka terhadap dunia Barat hingga jepang mulai merintis menjadi negara ibdustri modern pada saaat itu. Kelompok-kleompok samurai yang merasa jika Jepang menjadi negara yang terbuka seperti ini, maka Jepang akan kehilangan nialai-nilai luuur yang ada dalam bushido. Mengingat pada saat itu pemerintah Meiji mengampanyekan secara gencar tentang pelarangan bagi setiap orang untuk membawa pedang (battodo) kecauli aparat keamanan. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran kaum samuari karena eksistensi mereka akan segera berkahir dan digantikan oleh senjata api modern dari dunia Barat.

Pada akhirnya kelompok Shinsen-gumu dan beberapa kelompok pemberontak lainnya bersepakat untuk melakukan suatu pemberontakan terkahir untuk menujukan eksistensi mereka kepada kisar Meiji bahwa inilah bangsa yang sesungguhnya. Mereka para kaum samurai sadar bahwa pertarungan terkahir mereka dengan battodo tidak akan memebawa mereka kepada kemenangan karean tentu tidak sebandimga antara battodo denagan tenatar Meiji yang menggunakan senjata api modern. Namun mereka sadar klauapun mereka hanya berdiam diri, mereka pun akan segera punah juga. Mereka lebih bangga mati terhormat sebagai pejuang dibandingkan hanya berdiam diri hingga eksistensi mereka punah ditelan teknologi Barat.

Dalam peperangan bakumatsu terkhir, akhurnya mereka para kaum samurai mati seluruhnya terbunuh oleh senjata api tentara Meiji. Setelah berakhirnya perang ada satu pesan terkhir yang disampaikan kepada Meiji, bahwa kaum samurai ingin Meiji memiliki suatu pedang kehormatan milik seorang kesatria. Inilah puncak kejayaan Jepang pada saat Meiji menerima pedang kehormatan itu, maka ia berpdiato: ”Walaupun Jepang te;ah mengenal teknologi kereta api dan senjata api dari Barta, Jepang tidak boleh melupakan nilai-nilai bushido yang dibangun kaum samurai”. Di situlah pesan terkhir kaun samuarai pun tersamapaikan yang harus mereka bayar dengan nyawa mereka dan pada saat itulah Meiji baru menyadri apa yang hendak dismapaikan para kaum samuarai.

Jepang yang telah cukup maju setelah wafatnya Meiji mulai kehilangan arah sebagai bangsa yang beradab. Di bawah kekuasaan kaisar Hirohito, Jepang menebarkan semangat agresi dan okupasi wilayah-wilayah hingg puncaknya penyerangan Peral Harbour pada tahun 1942. Akhirnya pada tahun 1945 Amerika Serikat pun dengan tujuan balance of power membom nuklir Hiroshima dan Nagasaki.

Sejak pasca invasi Am,erika Serikat terhadap Jepang, kaum muda Jepang sadara bahwa apa yang pernah dilakukan oleh kaisar Hirohito adalah salah. Bahwa sebenarnya prinsip bushido megajarkan kedamaian, bukan kerusakan dan kehancuran. Justru pasca Perang Dunai II tersebut Joeang jauh lebih maku dibandingkan sebelumnya. Rahasia mereka adalah tidak lain dari semnagat bushido.

Bushido (Way of Samurai)

“Filosofi samurai tanpa pedang berisi pedoman bahwa prajurit terbaik tidak

pernah menyerang, prajurit terhebat berhasil tanpa kekerasan,dan penakluk

terbesar menang tanpa perang.”

Menjadi seorang pemimpin yang berhasil bukan sekadar ditentukan oleh sampai sejauh mana prestasi yang bisa diraih, tetapi juga oleh kemanfaatan yang bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Seorang pemimpin yang tangguh lahir dari sejumlah bentukan pengalaman hidup, berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Ia juga muncul bukan hanya karena bakat yang menaunginya, tetapi juga olah rasa kebulatan tekad. Pemimpin hebat bukan lahir dari keturunan yang hebat, tetapi kemampuan untuk terus belajar dan belajar.

Pada saat bersamaan kini kita kerap disuguhi parodi pengkaderan kepemimpinan yang dari atas ke bawah, bahkan lahir sebagai generasi penyusul. Sebenarnya faktor apakah yang menjadikan seseorang menjadi pemimpin yang tangguh? Sebagian besar kalangan mengatakan karena bakat dan keturunan, tetapi Toyotami Hideyoshi, salah satu pemimpin legendaris dari zaman kekaisaran Jepang (abad XVI) menjadikan faktor keteguhan diri menjadi salah satu faktor utama keberhasilannya.

Hideyoshi (1536-1598) layak dicatat sebagai salah satu figur besar pemimpin yang pernah ada di dunia. Bukan hanya karena kemampuannya menyatukan Jepang dalam salah satu masa paling krusial, saat puncak kekacauan Jepang -zaman perang antar klan,saat di mana kekerasan dijadikan panglima.

Saat di mana tesis Hobbesis, homo homini lupus terejawantahkan dalam bingkai kehidupan keseharian yang konkret, manusia kuat yang menjadi pemenang ketika berperilaku sebagai serigala.Tapi juga Hideyoshi mewariskan falsafah kepemimpinan yang hingga kini masih sangat layak dijadikan cermin bagi siapa saja yang berhasil,terutama dalam aspek manajemen kepemimpinan.

Hideyoshi menjadi luar biasa karena satu-satunya pemimpin Jepang yang tumbuh sebagai anak petani miskin dari tradisi aristokrat dan struktur masyarakat feodal Jepang.Saat di mana bukan hanya estafet kepemimpinan mengikuti garis darah dan struktur masyarakat yang terfragmentasi berdasarkan kelas sosial yang sulit menyatu.

Ia terlahir di Nakamura, Provinsi Owari sebagai anak tunggal yang ditinggal ayah sejak kecil dan menyaksikan ayah tirinya kerap mempergunakan kekerasan kepada ibunya dan Hideyoshi sendiri. Dengan model anak tunggal yang terpisah dari ayah sejak kecil, secara psikologis (mengikuti pendapat psikolog Alfred Ayer) biasanya anak tunggal yang kesepian ditinggal figur ayah, suatu ketika akan berhasil dalam hidupnya.

Meski keberhasilannya lebih ditentukan oleh dorongan psikologis pembuktian kepada ibunya bahwa tanpa figur ayah dirinya mampu membuktikan diri. Dengan modal sebuah kantong penuh berisi koin tembaga hasil tabungan dari kerja keras ibunya, Hideyoshi meninggalkan Nakamura dan berkelana mencari peruntungan baru.

Keberanian untuk meninggalkan kota kelahiran untuk mengadu nasib telah mengubah jalan hidup Hideyoshi. Keinginan untuk berhasil menjadikannya mampu bukan hanya bertahan hidup di dunia baru, tetapi mempelajari bagaimana menjadi besar ditengah anggapan umum bahwa dia tidak mungkin menjadi besar.

Bagaimana tidak, ia berasal dari keluarga petani miskin dengan perawakan tidak atletis, berwajah jelek, bertubuh pendek, tidak berpendidikan.Dengan hanya berat badan 50 kg,tinggi 150 cm dan bungkuk dengan daun telinganya besar,wajahnya merah dan berkeriput sehingga sepanjang hidupnya disebut dengan nama panggilan “monyet”.

Lantas apa yang membuat Hideyoshi mendapat kesuksesan besar? Ia besar karena memiliki karakter pemimpin yang khas dan sejatinya harus dimiliki semua orang.

Pertama karakter dasar yang utama adalah filosofi samurai tanpa pedang. Satu hal yang bertolak belakang jika diperbandingkan kewajaran yang berlaku pada masanya, melulu dengan kekerasan.

Sejatinya filosofi samurai tanpa pedang bisa dipahami dengan keterbatasan fisik dan kemampuan olah pedang Hideyoshi yang sangat terbatas. Secara umum Hideyoshi mengatakan bahwa filosofi samurai tanpa pedang berisi pedoman bahwa prajurit terbaik tidak pernah menyerang, prajurit terhebat berhasil tanpa kekerasan,dan penakluk terbesar menang tanpa perang.

Tapi lebih dari itu, Hideyoshi memaksimalkan kekurangan fisik dan kemampuan tempur dengan menunjukkan kemampuan strategi dan olah pikirnya. Prinsip samurai tanpa pedang memiliki filosofi mengedepankan akal sehat dan berpikir di luar kotak.Sebagai contoh saat Hideyoshi menjadi salah satu tangan kanan dari Lord Nobunaga yang pada saat itu dikenal memiliki pasukan tempur yang kuat tidak memakai kekuatan bersenjata saat penaklukan Klan Asasuka.

Hideyoshi mengambil risiko datang seorang diri menerobos benteng Asasuka hanya untuk menjamin bahwa pasukan Asasuka akan selamat jika menyerah (hlm 79). Keberanian tersebut jelas memiliki risiko yang sangat besar dan berulang dilakukan dalam berbagai kondisi kesulitan dan tantangan. Kedua, teguh pada prinsip, berkemauan ekstra, dan bekerja keras.

Kekurangan fisik dan kenyataan bahwa bukan terlahir dari kalangan aristokrat menjadikan usaha Hideyoshi berlipat. Keterbatasan diri yang kemudian bisa dijadikannya keunggulan bersaing. Sudah menjadi rahasia umum, rata-rata pemimpin yang sukses lahir karena masa lalu yang kelam.

Untuk mewujudkannya Hideyoshi mengatakan ia harus selalu berjalan jauh melebihi langkah orang lain sebelum orang tersebut melangkah. Meski pada akhir kekuasaannya Hideyoshi dianggap diktator, filosofi samurai tanpa pedang menjadi salah satu bahan pelajaran penting untuk kita semua.

Saat tipologi kesuksesan kepemimpinan lebih banyak didominasi prinsip hidup Barat, Hideyoshi mengisi kekosongan kepemimpinan Timur yang tak kalah besar. Ia besar karena terbentuk oleh pengalaman yang berliku dan beragam.

Kita bisa membuat cahaya dalam diri tumbuh menjadi sebuah bintang. Bintang akan meledak dan menjadi ratusan serpihan-serpihan cahaya. Dan setiap serpihan cahaya itu bagaikan sebuah pedang, yang dapat menghilangkan semua hal negatif dan membawa kesucian pada dunia ini.

Jika mendalami lebih jauh tentang prinsip-prinsip samurai, maka kita akan menemukan bahwa dibalik ketangkasan seorang samurai dalam memainkan pedang dan strategi bertempur, sesungguhnya mereka diarahkan untuk hidup dalam ketenangan jiwa dan keyakinanan hati. Prinsip ini betul-betul ditanamkan ke dalam pikiran dan hati seorang samurai, sehingga mereka senantiasa menghidupkan hati sebagai sumber cahaya dan keyakinan diri.

Hal yang paling mendasar dalam prinsip samurai adalah ajaran untuk senantiasa hidup dengan kejujuran terhadap diri sendiri; jika tidak, mereka dianggap belum benar-benar menjalani hidup secara utuh.

Ajaran tersebut meski tampak sederhana namun sesungguhnya sangat bermakna dan membawa kedamaian dalam hati setiap samurai. Jika telah jujur pada diri sendiri, maka secara spontan mereka pun akan jujur pada siapapun.

Bunga sakura simbol jalan hidup samurai

Bunga sakura adalah salah satu simbol samurai, karena bunga sakura mekar bersemi hanya dalam waktu yang singkat. Seperti prajurit samurai, bunga sakura gugur di puncak kematangannya, akan tetapi jiwa samurai tetap abadi dengan keindahannya.

Hal tersebut membuat mereka belajar untuk senantiasa menghargai detik demi detik kehidupan dan menghargai serta menikmati momen-momen sebagai sesuatu yang indah.

Mereka melakukan yang terbaik dalam setiap gerak dan tindakannya karena mereka tidak menginginkan ada penyesalan dengan membiarkan waktu berlalu begitu saja. Itulah prinsip sakura. Shingen Harunobu Takeda, sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir mengucapkan sebait puisi:

Seperti biasa, serahkan pada tanah,baik untuk kulit dan daging,tanpa perlu berlumur merah dan putih,sendiri bersama hembusan angin

Miyamoto Musashi yang sering dianggap sebagai samurai terbesar dalam sejarah, adalah seorang pelukis ulung. Hasil karyanya yang kini sudah berusia 400 tahun yang melukiskan seekor burung yang sedang bertengger di atas sebuah cabang kering sangat terkenal. Yang menarik perhatian bukan hanya apa yang nampak di permukaan kanvas, namun lebih jauh agalah goresan yang mencerminkan spirit yang dihembuskan sang pelukis berupa rasa percaya diri dan ketegasan. Di dalam buku yang ditulisnya yang berjudul ”The Book of Five Rings”, Musashi mengatakan Bahwa ilmu tertinggi dari ilmu pedangnya adalah nothingness atau ketiadaan. Para samurai meyakini bahwa teknik fisik bukanlah hal yang paling penting. Kesadaran ini muncul setelah latihan bertahun-tahun lamanya, dirasakan bahwa kemampuan fisik justru kerap membatasi kekuatan dan teknik seorang samurai. Namun sebaliknya hati (jiwa) seorang manusia adalah sumber kekuatan orisinil yang tak berbatas.

Hati memiliki kekuatan yang tak terhingga karena ia terhubung langsung dengan alam semesta. Alasan lain yang membuat mereka tidak mengutamakan sisi fisik, karena meskipun keberadaan manusia adalah kombinasi fisik dan spiritual, namun kelak jiwa akan tetap hidup meskipun fisik hancur.

Paparan di atas dapat menggambarkan sosok samurai bahwa mereka bukan hanya melayani tuannya, tapi hidup untuk melayani hatinya. Karena itu mereka selalu berusaha untuk hidup dengan pikiran yang jernih dan hati yang murni.

Arti Pertempuran

“Jika Anda memenangkan ratusan perang, itu bukanlah suatu kebanggaan. Jika Anda menang tanpa harus berperang, itulah kebanggaan yang sesungguhnya.” (Shingen Harunobu Takeda)

Shingen Harunobu Takeda dan Kenshin Uesugi dua tokoh samurai yang sangat terkenal di Jepang karena meskipun mereka bermusuhan, namun keduanya memiliki rasa saling hormat yang sangat besar satu sama lain. Kenshin Uesugi dikenal sebagai samurai jarang terlibat dalam pertarungan yang bermuatan politis. Meskipun rekan-rekan politisinya seringkali mengajak ia untuk berperang bersama mereka, ia selalu mampu meyakinkan rekan-rekannya bahwa perang bukan selalu cara yang terbaik untuk mencapai tujuan mereka.

Kenshin Uesugi pun sangat menjunjung tinggi nilai keadilan. Jika ia tidak melihat keadilan dalam suatu pertarungan, amaka ia tidak akan ambil bagian di dalamnya. Kenshin dikenal sebagai seorang samurai spiritual yang sesungguhnya. Shingen dan Kenshin menunjukkan bahwa seorang samurai sangat mengutamakan sopan santun dan menunjukan rasa hormat diantara keduanya.

Samurai spiritual memaknai pertempuran sebagai sesuatu yang sakral. Bagi mereka musuh harus dihormati musuh, hal itu merupakan cerminan dari menghormati diri sendiri. Menurut kode samurai, baik menang ataupun kalah, keduanya harus dilakukan dengan keindahan dan harga diri. Karena itu dalam peperangan mereka dipagari oleh ajaran etika prajurit yang ketat.

Beberapa etika pertarungan mereka adalah:

• Tidak Menyerang dari Belakang: Seorang samurai tidak akan pernah menyerang musuhnya dari belakang, karena hal ini dianggap merendahkan. Hal ini masih dijalankan dalam sistem pertandingan karate modern hingga saat ini.

• Dilakukan dengan Keindahan & Harga Diri Menurut kode samurai, baik menang ataupun kalah, keduanya harus dilakukan dengan keindahan dan harga diri.

• Dilakukan Sampai Tuntas. Karena pertarungan ini adalah semacam suratan takdir, maka merupakan tugas sang samurai untuk menjalankannya dan bertanggung jawab akan hasil akhirnya sampai tuntas.

Walaupun ada beberapa samurai yang sepenuhnya militaris, sebagian lainnya adalah samurai spiritual yang mencoba memahami dunia dan kontradiksi di dalamnya. Para samurai ini lebih merasa terhormat jika melindungi daripada membunuh. Pedang mereka merupakan simbol spiritualitas dari komitmen, amanah, dan ‘wadah’ bagi jiwa mereka.

Toyotomi Hideyoshi

Dalam biografinya yang terkenal Toyotomi hideyoshi mengatakan: ”Meski dikenal karena kemampuan kemiliteran, aku masih lebih bangga dengan keterampilanku sebagai seorang negarawan. Aku lebih memilih berdiplomasi daripada bertempur. Sebagian besar penaklukan yang kulakukan terjadi tanpa pertumpahan darah, dan banyak orang berkata bahwa aku adalah diplomat terbaik dalam sejarah Jepang. Jika kau ingin mencapai kesepakatan yang menguntungkan dengan mereka yang berseberangan denganmu –tanpa harus memenggal kepala mereka- maka kau akan merasakan manfaat dari pendekatan yang kulakukan.”

Kode Etik Samurai

1. Gi (義 – Integritas)

Menjaga Kejujuran.

Seorang Samurai senantiasa mempertahankan etika, moralitas, dan kebenaran. Integritas merupakan nilai Bushido yang paling utama. Kata integritas mengandung arti jujur dan utuh.

Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dari seluruh aspek kehidupan, terutama antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Nilai ini sangat dijunjung tinggi dalam falsafah bushido, dan merupakan dasar bagi insan manusia untuk lebih mengerti tentang moral dan etika.

“Seorang ksatria harus paham betul tentang yang benar dan yang salah, dan berusaha keras melakukan yang benar dan menghindari yang salah. Dengan cara itulah bushido biasa hidup.” (Kode Etik Samurai)

2. Yū (勇 – Keberanian)

Berani dalam menghadapi kesulitan.

Keberanian merupakan sebuah karakter dan sikap untuk bertahan demi prinsip kebenaran yang dipercayai meski mendapat berbagai tekanan dan kesulitan. Keberanian juga merupakan ciri para samurai, mereka siap dengan risiko apapun termasuk mempertaruhkan nyawa demi memperjuangkan keyakinan.

Keberanian mereka tercermin dalam prinsipnya yang menganggap hidupnya tidak lebih berharga dari sebuah bulu. Namun demikian, keberanian samurai tidak membabibuta, melainkan dilandasi latihan yang keras dan penuh disiplin.

“Pastikan kau menempa diri dengan latihan seribu hari, dan mengasah diri dengan latihan selama ribuan hari”. (Miyamoto Musashi)

3. Jin (仁 – Kemurahan hati)

Memiliki sifat kasih sayang.

Bushido memiliki aspek keseimbangan antara maskulin (yin) dan feminin (yang) . Jin mewakili sifat feminin yaitu mencintai. Meski berlatih ilmu pedang dan strategi berperang, para samurai harus memiliki sifat mencintai sesama, kasih sayang, dan peduli.

Kasih sayang dan kepedulian tidak hanya ditujukan pada atasan dan pimpinan namun pada kemanusiaan. Sikap ini harus tetap ditunjukan baik di siang hari yang terang benderang, maupun di kegelapan malam. Kemurahan hati juga ditunjukkan dalam hal memaafkan.

”Jadilah yang pertama dalam memaafkan.”(Toyotomi Hideyoshi)

4. Rei (礼 – Menghormati)

Hormat kepada orang lain.

Seorang Samurai tidak pernah bersikap kasar dan ceroboh, namun senantiasa menggunakan kode etiknya secara sempurna sepanjang waktu.

Sikap santun dan hormat tidak saja ditujukan pada pimpinan dan orang tua, namun kepada tamu atau siap pun yang ditemui. Sikap santun meliputi cara duduk, berbicara, bahkan dalam memperlakukan benda ataupun senjata.

”Apakah kau sedang berjalan, berdiri diam, sedang duduk, atau sedang bersandar, di dalam perilaku dan sikapmu lah kau membawa diri dengan cara yang benar-benar mencerminkan prajurit sejati. (Kode Etik Samurai)

5. Makoto atau (信 – Shin Kejujuran) dan tulus-iklas.

Bersikap Tulus & Ikhlas.

Seorang Samurai senantiasa bersikap Jujur dan Tulus mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran.

Para ksatria harus menjaga ucapannya dan selalu waspada tidak menggunjing, bahkan saat melihat atau mendengar hal-hal buruk tentang kolega.

”Samurai mengatakan apa yang mereka maksudkan, dan melakukan apa yang mereka katakan. Mereka membuat janji dan berani menepatinya.” (Toyotomi Hideyoshi)

”Perkataan seorang samurai lebih kuat daripada besi.” (Kode Etik Samurai)

6. Meiyo (名誉 – Kehormatan)

Menjaga kehormatan diri.

Bagi samurai cara menjaga kehormatan adalah dengan menjalankan kode bushido secara konsisten sepanjang waktu dan tidak menggunakan jalan pintas yang melanggar moralitas.

Seorang samurai memiliki harga diri yang tinggi, yang mereka jaga dengan cara prilaku terhormat. Salah satu cara mereka menjaga kehormatan adalah tidak menyia-nyiakan waktu dan menghindari prilaku yang tidak berguna.

”Jika kau di depan publik, meski tidak bertugas, kalau tidak boleh sembarangan bersantai. Lebih baik kau membaca, berlatih kaligrafi, mengkaji sejarah, atau tatakrama keprajuritan.” (Kode Etik Samurai)

7. Chūgo (忠義 – Loyal)

Kesetiaan ditunjukkan dengan dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Kesetiaan seorang ksatria tidak saja saat pimpinannya dalam keadaan sukses dan berkembang.Bahkan dalam keadaaan sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, pimpinan mengalami banyak beban permasalahan, seorang ksatria tetap setia pada pimpinannya dan tidak meninggalkannya. Puncak kehormatan seorang samurai adalah mati dalam menjalankan tugas dan perjuangan.

”Seorang ksatria mempersembahkan seluruh hidupnya untuk melakukan pelayanan tugas.” (Kode Etik Samurai)

8. Tei (悌 – Menghormati Orang Tua)

Menghormati orang tua dan rendah hati.

Samurai sangat menghormati dan peduli pada orang yang lebih tua baik orang tua sendiri, pimpinan, maupun para leluhurnya. Mereka harus memahami silsilah keluarga juga asal-usulnya. Mereka fokus melayani dan tidak memikirkan jiwa dan raganya pribadi.

”Tak peduli seberapa banyak kau menanamkan loyalitas dan kewajiban keluarga di dalam hati, tanpa prilaku baik untuk mengekspresikan rasa hormat dan peduli pada impinan dan orang tua, maka kau tak bisa dikatakan sudah menghargai cara hidup samurai. (Kode Samurai).”

Battodo
Battodo adalah ilmu pedang Jepang modern, yang dikukuhkan pada periode antara Perang Dunia I (PD I) dan Perang Dunia II (PD II). Dasar ilmu pedang ini adalah ilmu pedang tradisional: Iado dan Iaijutsu, yang muncul pada Masa Edo (1603-1868).

Hal utama dan ide dibalik proses terciptanya Battodo modern adalah agar digunakannya seni ilmu pedang di dalam teknik pertarungan praktis. Satu langkah lebih maju daripada aliran ilmu pedang lainnya yang lebih menekankan estetika dan tidak alami, yang banyak tercipta pada Masa Edo.

Masa Edo ditandai dengan situasi yang aman dan konteks sosial yang mapan, tidak ada peperangan. Hal tersebut disamping meningkatkan seni ilmu pedang yang menekankan estetika juga menyuburkan aspek spiritualitas dan pemaknaan keterampilan bertarung sebagai metode peningkatan kualitas diri.

Aspek Spritualisme berpengaruh besar pada sistem pertarungan di MasaEdo, dengan sisi meditasi yang lebih diutamakan. Hasil praktek tersebut, petarung menjadi lebih tenang dan mampu berkonsentrasi.

Pada periode di antara dua Perang Dunia, di Akademi Militer Toyama (Rikugun Toyama Gakko) dikembangkan sistem ilmu pedang untuk pertarungan jarak dekat pada situasi medan perang modern. Tujuannya adalah kemudahan dan teknik yang lebih efisien.

Penekanan bukan pada praktek-praktek fundamental dan kata, tetapi pada latihan uji cutting-tameshigiri. Aliran baru dari ilmu pedang dari AkademiToyamaini dinamakan Gunto noSoho(setelah PD II menjadi Toyama Ryu Battojutsu dan Toyama Ryu Iaido).

Toyama Ryu

Diciptakannya aliran Toyama Ryu pada ilmu pedang Jepang tidak terlepas dari Akademi Militer Toyama, tempat terciptanya aliran ini pada periode di antara dua PD. Pada 1873, di daerah Toyama di Tokyo, dibangun Akademi Militer Toyama (Rikugun Toyama Gakko). Pada 1937, Akademi Toyama dipindahkan 40 km barat daya di luar Tokyo, dekat kota Zama. Akademi Militer ini memiliki 6 dojo besar, untuk Kendo dan satu untuk Jukenjutsu (Ilmu Pedang Bayonet). Luas semua dojo 60m x 12m.

Letnan Morinaga Kiyoshi adalah penggagas terciptanya aliran ilmu pedang Toyama. Tahun 1925 ia masih menjadi letnan dan direktur Kenjutsu Kenkyu Kai (Komite Riset Ilmu Pedang) di Akademi Toyama. Target komite ini adalah membuat sistem praktis menggunakan pedang Jepang – katana, untuk situasi medan perang modern, yang akan dipelajari sebagai mata kuliah di Akademi Militer. Tujuannya adalah penggunaan teknik yang paling efisien dari aliran klasik (koryu) Iaido, Iaijutsu dan Kenjutsu. Letnan Morinaga meminta arahan teknis dari salah satu guru ilmu pedang paling berpengaruh saat itu: Nakayama Hakudo. Nakayama sensei adalah guru Muso Jikiden Eishin Ryu Iaido yang terkenal dan pendiri Muso Shinden Ryu.

Langkah kedua bagi terciptanya sistem pedang militer yang baru adalah menganalisis laporan para ahli tentang beberapa pertarungan pedang terkenal dalam sejarah Jepang terkini. Hasil riset dari para ahli selama perang bahwa serangan yang paling efisien dan paling sering digunakan adalah kesagiri (teknik cutting diagonal ke bawah).

Hasil kerja Kenjutsu Kenkyu Kai dan Nakayama Sensei menghasilkan aliran baru yang ditetapkan pada 1925, yang awalnya dinamakan Gunto no Soho. Aliran itu terdiri dari lima kata dan tameshigiri. Untuk melatih uji cutting, digunakan target yang terbuat dari batang padi – makiwara atau tameshiwara. Gulungan batang padi ini direndam selama beberapa waktu agar menjadi padat dan lembab.

Pada 1939, sistem Gunto no Soho diubah. Alasan utama perubahan ini adalah keterampilan pedang para tentara yang tidak memadai selama serbuan militer Jepang di Cina dan Manchuria. Penggagas perubahan dasar ini adalah, sekali lagi, Morinaga Kyoshi (saat itu menjabat kolonel). Beberapa detil teknis dari kata ke-5 yang lama diubah, dan ditambahkan kata ke-6 dan ke-7.

Setelah 1945, muncul tiga turunan interpretasi dari Toyama Ryu yang asli: Nakamura-ha, Morinaga-ha, dan Yamaguchi-ha. Nakamura Taizaburo sensei adalah pendiri Nakamura-ha. Ia menambahkan kata ke-8 (Itto Ryodan) dan memperkenalkan beberapa perubahan teknis pada kata lain dari Toyama Ryu versi pra PD II.

Pada 1977, ia mendirikan Zen Nippon Toyama Ryu Iaido Renmei. Setelah masa perang, ia juga mendirikan Federasi Battodo Internasional, yang bertujuan mengembangkan Nakamura Ryu. Sementara, pendiri Morinaga-ha adalah kolonel Morinaga Kyoshi. Ia mendirikan Dai Nippon Toyama Ryu Iaido Shinkokai. Pengikutnya yang penting adalah Tokutomi Tasaburo Sensei.

Yamaguchi-ha dibentuk oleh Yamaguchi Yukii – staf dan instruktur pada Akademi Toyama. Penting untuk disebutkan bahwa keseluruhan kurikulum teknis Toyama Ryu dimasukkan ke dalam aliran yang didirikan Nakamura Taizaburo Sensei – Nakamura Ryu Battodo, dan dapat mewakili teknik dasarnya

Nakamura Ryu

Nakamura Ryu Battodo atau Nakamura Ryu Happogiri Toho adalah aliran ilmu pedang Jepang yang didirikan Nakamura Taizaburo sensei pada 1953. Aliran ini didasarkan pada pengalaman ilmu bela diri Nakamura sensei, seorang master Judo, Kendo, Iaido, Kyudo, Jukendo, and Tankendo pada pra PD II, yang juga memiliki pengalaman dalam sistem pertarungan jarak dekat militer.

Nakamura Ryu memiliki dasar dari sistem ilmu pedang Toyama Ryu. Toyama Ryu dimasukkan ke dalam aliran Nakamura, sebagai yang pertama dari empat rangkaian kata, juga bersama dengan teknik dasarnya (kihon), menjadi kurikulum teknis Nakamura Ryu.

Inovasi yang disumbangkan Nakamura Sensei kepada ilmu pedang Jepang dan yang menjadi konsep fundamental alirannya – Nakamura Ryu, adalah konsep Eiji Happo. Eiji Happo artinya “prinsip 8 gerakan kuas dari karakter huruf Ei”. Menggoreskan karakter “Ei” (keabadian) menggunakan kesemua delapan arah goresan kuas.

Nakamura Sensei yang juga master kaligrafi Jepang (Shodo) mengaplikasikan prinsip ini pada teknik pedang dan membuat sistem delapan dasar cutting – Happo Giri. Konsep Happo Giri menjadi esensi dari teknik Nakamura Ryu Battodo.

Tujuan sistem Nakamura Ryu adalah untuk melindungi Seisin Tanren atau penempaan spiritual seseorang. Melalui training yang intensif, pelatihan Nakamura Ryu batto-jutsu bertujuan meningkatkan kemampuan diri baik secara mental maupun fisik, dengan demikian dapat membangun karakter.

Kokoro (jiwa dan mental) semuanya harus menjadi bagian dari proses pelatihan. Sebagai salah satu aspek diri, kokoro memungkinkan seseorang untuk membangun disiplin dalam pelatihan yang sulit. Kokoro membebaskan pikiran seseorang dari gangguan dalam memusatkan energi pada saat latihan.

Samurai Modern

Berbagai media masa dunia beberapa waktu lalu menayangkan penampilan langsung dari orang nomor satu Toyota Motor Corporation, Toyoda Akio (53 tahun) di depan Kongres AS pada tanggal 24 Februari 2010. Kemunculan cucu dari pendiri Toyota ini berkaitan dengan masalah recall (penarikan) produk Toyota sebanyak 8,5 juta unit.

Meski sempat mendapat kecaman, Toyoda Akio secara “ksatria” datang ke negeri Paman Sam (AS) untuk bersaksi dan menjawab pertanyaan dari anggota parlemen AS. Pada kesempatan itu, presiden Toyota tersebut meminta maaf kepada Kongres dan masyarakat Amerika dan berulang kali mengatakan “deeply sorry” atas kasus yang memakan korban kecelakaan. Toyoda pun mengatakan bahwa ia ikut berduka dari hati yang paling dalam. Tampak dalam layar kaca bagaimana sikap Toyoda yang membungkuk penuh hormat saat mengungkapkan perasaannya.

Akio Toyoda | Presiden Direktur Toyota Motor Corporation ketika secara ksatria meminta maaf kepada Kongres dan masyarakat Amerika dengan membungkuk penuh hormat

Dunia pun melihat bagaimana cucu pendiri Toyota, menaikkan tangannya ke atas, bersumpah mengatakan yang sesungguhnya kepada Komite Dewan Pengawas dan Reformasi Pemerintahan. Dalam testimoni yang berlangsung selama 3,5 jam, Toyoda berkata, “Kami tidak akan pernah lari dari tanggung jawab atau membiarkan masalah ini begitu saja. Saya justru khawatir dengan pertumbuhan kami yang terlalu cepat.” Kemudian ia menyampaikan komitmennya, “Anda sudah mendengar komitmen pribadi saya bahwa Toyota bekerja keras, tanpa henti memperbaiki kepercayaan terhadap pelanggannya,” lanjut Toyoda.

Sikap yang ditunjukkan oleh pimpinan tertinggiToyotadi depan Kongres mengundang kekaguman dan simpati dunia. Kesantunan Toyoda sangat berbeda dengangayapara CEO tiga pabrik mobil terbesar di Amerika Serikat (GM, Ford, dan Chrysler) yang pada bulan November 2008 lalu juga menghadap Kongres meminta dana talangan (bail out) dengan menggunakan jet sewaan khusus. Sikap yang tidak menunjukkan rasa empati pada ribuan karyawan yang sedang proses PHK tersebut tentu saja menuai kritikan tajam berbagai pihak.

Sikap terhormat yang mencerminkan rasa tanggung jawab dan kepedulian yang ditunjukkan Akio Toyoda sesungguhnya menunjukkan bahwa semangat bushido yang dimiliki leluhur Jepang masih terwariskan pada generasi mudanya saat ini. Meski jaman sudah berganti, kode etik moralitas para samurai tersebut ternyata belum luntur hingga saaat ini.

Jika kita menelaah lebi teliti bahwa seluruh prinsip samuarai adalah nilai-nilai universal yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia dan tentunya juga dimiliki oleh seluruh bangsa termasukIndonesia. Bhuneka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda, Pancasila adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh bngas ditambah dengan nilai-nilai universal lainnya seperti jujur, displin, peduli dan sebagainya.

Maka belajarlah dari Jepang yang tetap memilih setia terhadap nilai-nilai bushido sekalipun mereka telah mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknolgi adalah hal yang membahagaiakan dan menyeimbangkan untuk mencapai manusia yang berintelektual dan bermoral. Gali lagi dan terapkan semua nilai yang dimiliki bangsa ini untuk menjadi bangsa yang gemilang seperti halnya Jepang.



referensi : http://zerolibritain.wordpress.com/2011/04/29/berguru-pada-negeri-matahari-terbit/

Read More >>